KUTARAJAPOST.COM – Langkah Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Safrizal ZA yang membuka uji kompetensi atau job fit bagi 20 pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Aceh menjelang akhir masa jabatannya menuai kritik tajam dari kalangan akademisi.
Prof Dr Muhammad Nazaruddin seorang ahli sosiologi politik dan kebijakan dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, menilai kebijakan tersebut sebagai pelanggaran etika politik yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik.
“Menurut pendapat saya, ini dihentikan saja. Tidak patut dilakukan. Sangat melanggar etika politik,” katanya dalam keterangan resminya pada Minggu, 26 Januari 2025.
Dari perspektif sosiopolitik, Prof Nazaruddin menilai langkah tersebut tidak pantas dilakukan, apalagi mengingat masa jabatan Pj Gubernur tinggal dua minggu lagi.
“Jabatan-jabatan yang sedang dimutasi atau dipilih dalam job fit ini seharusnya menjadi bagian dari perangkat kerja gubernur dan wakil gubernur terpilih yang akan memimpin selama lima tahun ke depan, bukan sebaliknya diubah di akhir masa jabatan Pj Gubernur,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof Nazaruddin menekankan perubahan jabatan ini akan memengaruhi implementasi janji-janji politik yang disampaikan oleh calon gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Menurutnya, pejabat yang dilantik oleh Pj Gubernur seharusnya bukanlah bagian dari tim yang seharusnya bekerja dengan visi misi pasangan kepala daerah yang terpilih, yang membutuhkan sinergi dalam menjalankan program-programnya.
“Sebagai Pj Gubernur, tugas utama adalah menyukseskan proses transisi hingga pelantikan kepala daerah terpilih. Jika ada masalah atau hal yang harus segera dituntaskan, seharusnya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan jangka panjang, bukan keputusan yang justru dapat memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahan yang baru,” tegas Prof Nazaruddin.
Pj Gubernur, menurut Prof Nazaruddin, seharusnya tidak merubah struktur birokrasi menjelang berakhirnya masa jabatannya, apalagi di saat transisi menuju pemerintahan yang baru.
“Jika ada ketidaksesuaian antara pejabat yang dilantik oleh Pj Gubernur dan tim yang akan bekerja dengan gubernur terpilih, maka implementasi janji-janji politik akan terancam gagal. Ini berpotensi merusak stabilitas birokrasi dan mengganggu kredibilitas pemerintah,” ujar dia.
Ia juga mengingatkan meskipun gubernur terpilih berhak mengganti pejabat yang ditunjuk oleh Pj Gubernur setelah pelantikan, perubahan di akhir masa jabatan ini akan menimbulkan masalah baru di dalam birokrasi.
“Hal ini bisa memicu ketidakstabilan internal dan bahkan menjadi ancaman konflik yang tidak diinginkan di masa depan,” tambahnya.
Prof Nazaruddin pun menilai bahwa tindakan Pj Gubernur Aceh membuka job fit pejabat eselon II ini patut dipertanyakan dan sebaiknya dihentikan.
“Langkah ini terlihat dipaksakan, jelas melanggar etika sosiopolitik, dan bisa berpotensi merugikan proses demokrasi yang tengah berlangsung,” pungkasnya.[]