Kutarajapost – Lembaga Aceh Resource and Development (ARD) menggelar diskusi publik dengan tema “Pembahasan APBA 2024 menggantung” di kafe Escape Green Bistro, Banda Aceh, Selasa, 28 November 2023.
Adapun yang menjadi narasumber dalam diskusi ini adalah Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA, Koordinator MaTA Alfian, Akademisi Fakultas Ekonomi USK Rustam Effendi, dan Wakil Ketua DPRA Teuku Raja Keumangan (tidak hadir). Acara ini dipandu oleh Akmal Abzal.
Dalam diskusi tersebut, Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA mengatakan, terkait anggaran APBA, secara aturan setahun sebelum masuk tahun anggaran baru, sejak Januari-Juni, maka dilakukan tahapan persiapan penyusunan RKPA.
Dimana penyusunan RKPA itu terdiri dari tahapan Musrembang dari level terbawah hingga level provinsi. Termasuk hasil reses yang dilakukan oleh DPRA, yang juga dimasukkan dalam RKPA.
“RKPA secara prosedur disahkan oleh Gubernur Aceh, hasil pengesahannya kemudian disusun KUA PPAS. Paling telat minggu kedua bulan Juli, KUA PPAS diserahkan ke DPRA,” kata MTA.
Setelah penyerahan dan dibahas DPRA, pada Agustus tahapannya disepakati. Selanjutnya, pada minggu kedua September, eksekutif kemudian mengajukan RAPBA yang kemudian memasuki tingkap pembahasan di DPRA.
Ia menjelaskan, secara aturan satu bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran, RAPBA ini sudah dibahas dan disepakati. Apabila 30 November tidak ada kesepakatan, maka eksekutif diwajibkan untuk mengajukan RAPBA ke Mendagri.
“Jika ada kesepakatan, pembahasan normal oleh DPRA, maka setelah dibahas, akan diajukan ke Mendagri beserta penjabarannya dan dilakukan evaluasi selama 15 hari, dan kemudian ditindaklanjuti evaluasi 7 hari tersebut dan APBA tersebut bisa dieksekusi tahun depan,” jelasnya.
Menurutnya, permasalahan anggaran APBA 2024, terjadi sejak diajukan pada 24 September RAPBA ke DPRA. Dimana pihak DPRA tidak pernah melakukan pembahasan hingga sekarang.
“Ada undangan dari DPRA mengundang Gubernur Aceh untuk membahas RAPBA. Akan tetapi dalam tatib, anggaran dibahas dengan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA),” ujarnya.
MTA meyampaikan, bagi eksekutif, RAPBA adalah qanun dan tidak diwajibkan Gubernur untuk datang ke DPRA. Namun yang menjadi persoalan adalah Banggar DPRA memaksa Gubernur harus hadir melakukan pembahasan Qanun APBA.
“Tiga kali diundang dipaksa gubernur hadir, bagi eksekutif ini ada agenda lain. Kenapa gubernur harus dipaksa hadir,” tutur MTA.
Ia menyebut, pada saat Achmad Marzuki menjadi gubernur, Banggar DPRA meminta Sekda Aceh Taqwallah saat itu untuk diganti. Hal ini karena dianggap tidak punya kapasitas untuk menjembatani pembahasan anggaran.
Kendati demikian, ketika Sekda Aceh diganti dengan Bustami Hamzah, pembahasan anggaran APBA tersebut juga mandeg. Tim anggaran Pemerintah Aceh dipimpin oleh Sekda Aceh, sedangkan DPRA tidak menghargai TAPA untuk membahas anggaran.
“Bagi pihak gubernur, jika RAPBA tidak dibahas oleh DPRA dan berbuntut panjang, asumsi kita bahwa ada agenda lain dari DPRA yang berusaha mempermanenkan perselisihan dan konflik dalam hal ini,” katanya.
Ia mengungkapkan, jika pembahasan anggaran tidak dilakukan dan tidak ada kesepakatan hingga 30 November 2023 mendatang, maka eksekutif wajib melakukan pembahasan dengan Mendagri, dan ada kemungkinan APBA dipergubkan.
“Kami dari eksekutif merasa aneh kenapa anggaran ini tidak mau dibahas oleh DPRA,” sebut MTA.
Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (USK) Rustam Effendi mengaku bingung melihat kondisi Aceh yang bahwa APBA menggantung akan berdampak buruk terhadap perkembangan ekonomi Aceh.
“BPS publish ekonomi Aceh tier 3 sangat buruk. sangat jelek se sumatera. saya tidak persoalan Pergub atau Qanun. Fungsi APBD ada dua, yakni Kebijakan Fiskal dan Manajerial. Nah jika APBA tidak disahkan maka akan menjadi penghambat fungsi kebijakan fiskal,” ungkapnya.
Ia menuturkan, bahwa jika APBA tidak segera disahkan maka tidak bisa dialokasikan ke nelayan, pekebun, petani, buruh bangunan, beasiswa dan lain-lain.
“Disana ada belanja publik dan itu butuh cepat. Semua ada konektivitas terhadap APBA. Untuk apa uang kalau hanya digantung? kenapa kita lambat-lambatkan ini? ASN ada gaji setiap bulan. bagaimana sektor swasta?,” jelasnya.
Ia menuturkan, bahwa realita saat ini Aceh masih tinggi ketimpangan antar kabupaten di Aceh, APBA alat yang paling ampuh untuk hadapi ketimpangan tersebut. Dimana fungsi APBA / APBK cepat maka belanja transfer cepat, seluruh Aceh berimbas.
“Aceh masih ramai yang menganggur belum lagi yang setengah menganggur. ABPA ini belanja rakyat titip ke eksekutif dan legislatif hanya mengawasi tidak untuk menguasai,” ucapnya.
Ia menilai, Aceh hanya 30 persen PAD selebihnya transfer pusat masih 70 persen dan Aceh masih menggantung ke pusat. 60 persen hanya belanja okupasi dan selebihnya belanja modal.
“Lima lapangan usaha minus perkembangannya. Ini artinya makin buruk anpa migas kita hanya 3 persen dan kita terburuk di Sumatera,” katanya.
Ia menambahkan, bahwa solusi untuk semua ini adalah qanun, namun semua butuh waktu. Tetapi Pergub ini dimungkinkan jika pemegang mandat politik tidak komit, misal alokasi belanja.
“Baiknya untuk APBA itu awalnya bahas dulu, kedua bahas lagi, baru ketiga ajak Gubernur,” ujar Rustam.
Sementara itu, Koordinator MaTA Alfian, menyampaikan bahwa permasalahan yang ada bukan hanya tentang DPRA memanggil gubernur tiga kali dan tidak hadir, yang konsekuensinya RAPBA tiak dibahas.
“Tarik menarik konflik pembahasan RAPBA sejak Aceh mendapatkan Otsus, itu sudah 8 kali terjadi, dimana pengesahannya berakhir di gedung Kemendagri lantai 8,” ucap Alfian.
Ia menjelaskan, bahwa potensi penyelesaian di sana juga besar untuk APBA 2024 ini. Menurutnya, publik melihat adanya perebutan anggaran, soal uang bukan terkait kepentingan rakyat.
“Kalau ada yang bilang ini kepentingan rakyat, ini bohong. Otsus Aceh sejak 2008 hingga 2027 dan kini Otsus Aceh 1 persen dari DAU nasional. 1 persen setara Rp3.9 triliun. Pada 2024, Aceh hanya mendapat Rp3.4 triliun,” papar Alfian.
Menurut dia, di satu sisi, Dana Alokasi Khusus (DAU) Nasional naik, harusnya Otsus Aceh di atas Rp3.9 triliun.
“Harusnya DPRA bertanya ke pemerintah pusat perihal DAU naik, tapi Otsus kenapa malah turun,” katanya.
Ia mengatakan, pada April 2023 lalu, ada pertemuan anggota TAPA dan Bangagr DPRA, salah satu poin yang disepakati tentang perubahan pembagian Otsus yang sesuai qanun, 60 persen provinsi, 40 kabupaten/kota.
Kemudian pada bulan yang sama, dituangkan dalam berita acara, ada upaya untuk menarik 80 anggaran Otsus untuk dikelola provinsi, dan 20 persen dikelola oleh kabupaten/kota.
“Keributan ini soal uang, bukan tentang siapa gubernur, dan bukan karena gubernur tidak datang. Secara moral seharusnya kita malu karena persoalan anggaran kita tidak mampu diselesaikan di internal sendiri,” jelas dia.
Ia menuturkan, jika upaya ini terealisasi 80 persen ke provinsi, pihaknya tidak sepakat, karena yang punya wilayah adalah kabupaten/kota bukan provinsi.
Ia menilai, kondisi fiskal kabupaten/kota saat ini sangat menyedihkan. Misalnya kewajiban hibah dana untuk KIP kabupaten/kota dan itu berat dan membebani, karena mereka harus cari uangnya dimana, dan beberapa wilayah berencana ambil dana Baitul Mal.
Ia menambahkan, bahwa akar masalah sampai 8 kali konflik pengesahan anggaran ini, proses konflik ini akan terus berlangsung, termasuk saat kepala daerah baru nantinya.
“Solusinya kewenangan DPRA mengelola pokir harus dipangkas. Negara harus melakukan evaluasi dalam hal ini,” pungkasnya.