Pada 26–27 November 2025, Aceh dan sebagian besar kawasan Sumatera kembali dihantam rangkaian bencana hidrometeorologi: banjir, luapan sungai, hingga tanah longsor. Hujan dengan intensitas sangat tinggi turun hampir tanpa jeda dari wilayah hulu sampai hilir, membuat sistem tata air kewalahan dalam waktu singkat. Sungai meluap, tebing mengalami erosi, dan sejumlah ruas jalan utama terputus karena tergenang atau tertimbun material longsor.
Dampaknya meluas ke berbagai aspek kehidupan. Rumah-rumah terendam, aktivitas pendidikan terhenti, fasilitas publik tidak dapat beroperasi, dan ribuan warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Situasi ini memperlihatkan betapa rapuhnya ruang hidup kita ketika berhadapan dengan kejadian cuaca ekstrem.
Peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari pola hidrometeorologi yang semakin sering muncul, yaitu sebuah pertemuan antara intensifikasi cuaca basah, kerusakan lingkungan di berbagai titik, dan kesiapsiagaan masyarakat yang belum memadai. Dengan kata lain, bencana ini bukan sekadar akibat hujan ekstrem, tetapi hasil dari kombinasi bahaya alam dan kerentanan yang kita biarkan tumbuh.
Karena itu, pemahaman tentang manajemen bencana (Disaster Management) bagi civitas akademik bukan lagi hanya urusan teori di ruang kuliah. Ia telah menjadi kebutuhan praktis demi keselamatan bersama. Pengetahuan dasar ini membantu kita bukan hanya membaca situasi, tetapi juga mengambil peran dalam mitigasi, respons, dan pembelajaran dari risiko lingkungan yang kini semakin dekat dengan keseharian kita.
1. Pendahuluan
1.1 Apa Itu Bencana?
Untuk mengawali diskusi yang mendalam, kita perlu menarik garis pemisah yang tegas antara fenomena alamiah dan status bencana. Secara intrinsik, dinamika planet ini mulai dari pergerakan lempeng, siklus air, hingga stabilitas geologi, adalah mekanisme alamiah (natural process) yang berupaya mencapai keseimbangan (ekuilibrium).
Suatu fenomena alamiah baru dikategorikan sebagai bencana (disaster) ketika bahaya alamiah (hazard) tersebut berinteraksi dengan kerentanan (vulnerability) yang ditimbulkan atau diperburuk oleh aktivitas manusia. Ini membawa kita pada pemahaman fundamental bahwa:
“Bencana bukanlah sekadar peristiwa alam, melainkan cerminan kegagalan sistemik manusia dalam mengantisipasi dan mengelola risiko dari peristiwa alam tersebut.”
Sebagai ilustrasi, pelepasan energi geologi dalam Gempa Bumi adalah fenomena alamiah; namun, korban jiwa terjadi karena struktur bangunan yang memiliki kerentanan tinggi terhadap beban seismik. Demikian pula, intensitas Hujan adalah bagian dari siklus hidrologi, tetapi potensi kerusakan banjir meningkat drastis akibat degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan tata kelola lahan yang abai terhadap fungsi resapan dan penyaluran air.
1.2. Kategorisasi Bencana & Fokus Hidrometeorologi
Bencana dapat dikelompokkan berdasarkan karakteristik pemicunya, yang sangat penting untuk perumusan strategi mitigasi yang efektif:
- Bencana Geologi: Dipicu oleh proses di dalam Bumi, mencakup Gempa Bumi, Tsunami, dan Erupsi Gunung Api.
- Bencana Hidrometeorologi: Dipicu oleh dinamika cuaca dan iklim, meliputi Banjir, Tanah Longsor, Angin Kencang, Gelombang Ekstrem, dan Kekeringan.
- Bencana Biologi: Mencakup Pandemi, Wabah Penyakit, atau Infestasi Biologis yang masif (Zoonosis).
- Bencana Teknologi & Industri: Berkaitan dengan kegagalan sistem buatan manusia, seperti Kebakaran Industri, Kecelakaan Transportasi Massal, atau Kebocoran Bahan Kimia.
- Bencana Sosial: Bersumber dari konflik antar-manusia, termasuk Konflik Horisontal, Kerusuhan, atau Kelangkaan Pangan Akut.
Peristiwa yang melanda Sumatera pada 26–27 November 2025 diklasifikasikan dengan jelas sebagai bencana Hidrometeorologi, ditandai oleh intensitas curah hujan tinggi yang berdampak pada volume air (banjir) dan stabilitas massa tanah (longsor).
1.3. Trigger dan Aggravation
Dalam analisis risiko bencana, kita membedakan dua konsep kunci yang saling terkait:
- Trigger (Pemicu): Adalah kondisi atau peristiwa yang secara langsung menginisiasi terjadinya bencana. Dalam kasus hidrometeorologi, trigger utamanya adalah curah hujan ekstrem dalam periode yang singkat.
- Aggravation (Faktor Pemberat): Merupakan kondisi dasar yang telah ada dan berperan memperburuk konsekuensi dari trigger Contohnya adalah sedimentasi sungai yang mengurangi kapasitas alir, drainase perkotaan yang tidak berfungsi, atau kondisi lereng yang sudah gundul.
Skala destruktif suatu bencana seringkali merupakan hasil dari interaksi timbal balik yang menguat antara trigger dan aggravation.
1.4. Sumber Bencana: Alamiah, Antropogenik, dan Sinergi Keduanya
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bencana hidrometeorologi dapat dikelompokkan menjadi dua sumber, yang dalam realitas seringkali bekerja secara simultan:
- Faktor Alamiah (Natural Factors): Mencakup Curah hujan yang melampaui ambang batas normal, karakteristik geologi batuan yang rentan terhadap erosi atau longsor, kemiringan lereng yang curam, dan keterbatasan kapasitas alir alami sungai.
- Faktor Antropogenik (Human-induced Factors): Mencakup Deforestasi masif, implementasi tata ruang dan pengelolaan lahan yang tidak adaptif iklim, urbanisasi yang mengabaikan sistem drainase, dan pembangunan permukiman di zona bahaya seperti bantaran sungai.
Dalam konteks bencana Sumatera 2025, eskalasi risiko terjadi karena adanya sinergi negatif dari kedua faktor tersebut. Curah hujan tinggi (natural trigger) menjadi sangat destruktif karena diperburuk oleh hilangnya fungsi hutan, penyempitan saluran air, dan kepadatan populasi di area rentan (anthropogenic aggravation). Selain itu, relaksasi atau kendurnya kewaspadaan kolektif masyarakat pasca-Tsunami 2004 juga berkontribusi pada peningkatan kerentanan sosial.
2. Banjir dan Longsor: Mekanisme dan Penyebab
2.1. Bagaimana Banjir Terjadi?
Banjir dapat didefinisikan secara mekanis sebagai konsekuensi hidrologis dari ketidakseimbangan antara input air (curah hujan) dan kapasitas sistem tata air—meliputi tanah (infiltrasi) dan sungai (saluran drainase alami)—untuk menampung dan mengalirkan air tersebut.
Rangkaian proses yang mengarah pada bencana banjir dan longsor seringkali mengikuti urutan kausalitas (sebab-akibat) berikut:
- Input Air Intensif: Terjadinya presipitasi dengan intensitas tinggi dan durasi singkat (Hujan Ekstrem).
- Jenuh Air Tanah: Kapasitas infiltrasi tanah terlampaui. Tanah menjadi jenuh (Saturation) dan daya resapnya menurun drastis.
- Peningkatan Limpasan Permukaan: Karena air tidak dapat meresap, volume air yang mengalir di permukaan (Surface Runoff) meningkat secara eksponensial.
- Debit Sungai Berlebihan: Limpasan permukaan memasuki saluran sungai, menyebabkan peningkatan debit air secara mendadak.
- Luapan (Flooding): Jika debit melebihi kapasitas desain atau alami saluran sungai, air meluap melintasi tanggul atau sempadan, membanjiri dataran banjir (Floodplain) dan permukiman.
- Kegagalan Lereng (Mass Movement): Kondisi tanah yang sudah jenuh (juga di lereng) meningkatkan tekanan air pori (pore water pressure), mereduksi kekuatan geser (shear strength) material tanah, yang pada akhirnya memicu pergerakan massa tanah atau Tanah Longsor. Longsor di hulu dapat menutup aliran sungai (dambungan alami), yang memperparah banjir di bagian hilir setelah dambungan tersebut jebol.
2.2. Faktor-Faktor Pemicu dan Pemburuk
Bencana hidrometeorologi tidak pernah disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan oleh kombinasi Pemicu (Trigger) dan Pemburuk (Aggravation) yang saling berinteraksi:
2.2.1. Curah Hujan Ekstrem (Trigger)
Meskipun curah hujan yang sangat tinggi adalah pemicu langsung, penting untuk dicatat bahwa fenomena ekstrem ini dapat diprediksi dalam rentang siklus statistik musiman. Data historis, termasuk di Aceh, pernah mencatat curah hujan harian hingga 300 mm dalam beberapa tahun sebelumnya. Fakta ini menegaskan bahwa akar penyebab bencana bukan semata intensitas hujan, melainkan pada lemahnya kesiapan sistem tata ruang dan infrastruktur dalam menanggapi return period hujan tersebut.
2.2.2. Deforestasi dan Degradasi Lahan
Ini adalah faktor antropogenik terbesar yang secara langsung meningkatkan koefisien limpasan (runoff coefficient) Daerah Aliran Sungai (DAS). Ketika vegetasi penutup (hutan) hilang, lapisan permukaan tanah yang seharusnya berfungsi sebagai media infiltrasi dan penyimpanan air alami bertransformasi menjadi permukaan kedap atau semi-kedap, yang secara cepat mengalirkan air ke sungai dan mempercepat proses luapan.
2.2.3. Pengelolaan Lahan yang Buruk
Kegiatan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air turut memperburuk kerentanan:
- Pertanian di Lereng: Praktik tanpa terasering atau konservasi (misalnya sistem cut-and-fill yang tidak stabil) meningkatkan erosi dan risiko longsor.
- Lahan Kritis: Area yang terdegradasi dan dibiarkan tanpa upaya rehabilitasi memiliki daya serap air yang minimal.
- Pembukaan Lahan Intensif: Operasi penambangan atau pembangunan yang tidak terkontrol meningkatkan sediment load di sungai dan mengurangi stabilitas lereng.
2.2.4. Infrastruktur dan Manajemen yang Lemah
Ini merujuk pada aspek perencanaan dan operasional sistem buatan manusia:
- Keterbatasan Drainase: Jaringan drainase perkotaan yang berdimensi sempit, tidak terawat (tersumbat), atau tidak terintegrasi.
- Pelanggaran Tata Ruang: Pembangunan struktur permanen pada bantaran sungai (river corridors) yang mengurangi kapasitas alir dan area penampung banjir alami.
- Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) yang minim atau tidak tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat.
- Rendahnya Kewaspadaan: Eforia lull period (masa tenang pasca-bencana besar) yang menyebabkan menurunnya kesiapsiagaan dan kapasitas adaptasi masyarakat.
Seluruh faktor pemburuk ini membuat hujan, yang secara statistik berada dalam siklus jangka panjang (misalnya periode ulang 20, 50, atau 100 tahun), mampu bermetamorfosis menjadi bencana banjir dan longsor berskala masif.
3. Manajemen Bencana: Dari Konsep ke Praksis
3.1. Definisi dan Evolusi Konsep Disaster Management (DM)
Disaster Management (DM) adalah disiplin ilmu dan praktik terstruktur yang mencakup rangkaian proses berkelanjutan untuk mencegah, mengurangi, menyiapkan, merespon, dan memulihkan masyarakat dari dampak-dampak bencana.
Secara fundamental, DM berevolusi dari model yang reaktif menuju model yang proaktif. Pada fase awal, fokus DM didominasi oleh upaya pertolongan dan bantuan (relief) pasca-kejadian. Namun, pendekatan modern bergeser pada pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR), di mana fokus utama adalah meminimalkan kerentanan (vulnerability) dan paparan (exposure) sebelum bencana terjadi.
3.2. Tahapan Utama dalam Disaster Management Cycle (Siklus DM)
Secara teoritis dan operasional, manajemen bencana dibagi menjadi tiga fase besar yang membentuk sebuah siklus berkelanjutan (continuous cycle): Pra-Bencana, Saat Bencana, dan Pasca-Bencana.
3.2.1. Fase Pra-Bencana (Before the Disaster)
Fase ini menekankan pada upaya mitigasi dan kesiapsiagaan jangka panjang untuk mengurangi potensi risiko dan dampak:
- Pencegahan (Prevention): Upaya fundamental untuk menghentikan perkembangan bahaya (misalnya, menjaga integritas Daerah Aliran Sungai/DAS dan hutan hulu untuk mencegah deforestasi).
- Mitigasi (Mitigation): Tindakan struktural dan non-struktural untuk mengurangi dampak bahaya yang tidak dapat dicegah (misalnya, pembangunan bendungan pengendali banjir, atau penyusunan peta kawasan rawan bencana/KRB).
- Kesiapsiagaan (Preparedness): Peningkatan kapasitas masyarakat dan sistem untuk merespon secara efektif, termasuk melalui simulasi evakuasi, edukasi publik, dan pengembangan Early Warning System (EWS).
- Perencanaan Kontinjensi (Contingency Planning): Perumusan rencana operasional yang spesifik dan terperinci untuk skenario bencana terburuk, yang menjadi panduan saat emergency response harus diaktifkan.
3.2.2. Fase Saat Bencana (During the Disaster)
Fase ini berfokus pada perlindungan jiwa dan stabilisasi kondisi darurat:
- Respons Darurat (Emergency Response): Tindakan segera untuk melindungi jiwa, termasuk evakuasi penduduk dari zona bahaya, penyediaan tempat penampungan sementara, dan layanan medis darurat.
- Pencarian dan Penyelamatan (Search and Rescue/SAR): Operasi terstruktur untuk menemukan, menstabilkan, dan mengeluarkan korban yang terjebak atau hilang.
- Penilaian Kerusakan Cepat (Rapid Damage Assessment/RDA): Analisis cepat mengenai skala dan jenis kerusakan (infrastruktur, korban, kerugian) untuk menentukan prioritas bantuan dan sumber daya.
3.2.3. Fase Pasca-Bencana (After/Post Disaster)
Fase ini bertujuan untuk pemulihan, rehabilitasi, dan pembangunan ulang yang lebih adaptif:
- Bantuan Kemanusiaan (Relief & Humanitarian Assistance): Distribusi bantuan dasar esensial (pangan, air bersih, sanitasi, kebutuhan kesehatan).
- Dukungan Psikososial (Psychosocial Support): Intervensi untuk memulihkan kondisi mental dan emosional penyintas, dengan fokus khusus pada kelompok rentan (anak-anak, lansia, dan perempuan).
- Pembersihan Lingkungan: Penghapusan puing-puing (debris clearing) dan pemulihan sanitasi lingkungan untuk mencegah penyakit sekunder.
- Rehabilitasi: Pemulihan fungsionalitas dasar sosial-ekonomi (misalnya, pembukaan kembali sekolah dan pasar, perbaikan layanan utilitas dasar).
- Rekonstruksi (Reconstruction & Build Back Better): Pembangunan kembali infrastruktur dan permukiman yang hancur, dengan penerapan standar teknis yang lebih tinggi dan tahan bencana (adaptasi iklim).
- Monitoring & Evaluasi: Penilaian efektivitas seluruh intervensi yang telah dilakukan untuk dijadikan pembelajaran.
- Pembangunan Ketangguhan (Resilience Building): Upaya jangka panjang untuk meningkatkan kapasitas adaptif masyarakat sehingga mereka tidak hanya pulih, tetapi menjadi lebih tangguh dalam menghadapi bencana di masa depan.
4. What Next? Peran Civitas Akademik
Aceh memiliki narasi sejarah yang diwarnai oleh tantangan bencana yang signifikan, sekaligus kisah ketabahan dan pemulihan yang inspiratif. Dalam konteks ini, institusi pendidikan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai menara gading intelektual, tetapi harus bertransformasi menjadi garda depan perubahan budaya keselamatan dan ketangguhan. Peran civitas akademik yang meliputi dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan adalah katalisator krusial dalam siklus Disaster Management (DM).
4.1. Inisiasi Praktis: Bergabung dengan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana
Keterlibatan aktif dan terstruktur adalah langkah fundamental. Civitas Akademik Universitas Almuslim (dan institusi lain) didorong untuk mengintegrasikan diri dalam Satuan Tugas/Pusat Studi Bencana. Keterlibatan ini dapat diwujudkan dalam berbagai lini operasional:
- Pemetaan dan Analisis Risiko Kawasan: Melakukan studi komprehensif untuk mengidentifikasi bahaya dan kerentanan spesifik baik di lingkungan kampus dan sekitarnya (misalnya, analisis hidrologi mikro dan stabilitas struktur).
- Edukasi dan Pelatihan: Menjadi fasilitator atau peserta aktif dalam pelatihan kesiapsiagaan, pertolongan pertama, dan teknis Search and Rescue (SAR) dasar.
- Simulasi dan Latihan: Berpartisipasi rutin dalam simulasi evakuasi untuk memvalidasi dan mengoreksi prosedur standar operasional (SOP) yang ada.
- Relawan Lapangan: Menyediakan tenaga relawan yang terorganisir untuk respons darurat dan distribusi bantuan kemanusiaan saat bencana terjadi.
- Dokumentasi dan Pengarsipan: Mengumpulkan data dan dokumentasi pasca-bencana sebagai bahan penelitian, pembelajaran, dan akuntabilitas.
4.2. Membangun Kesadaran Kritis: Menjadi Pemikir dan Analis Situasi
Selain kontribusi fisik, peran intelektual civitas akademik sangatlah vital. Pengalaman langsung saat menghadapi atau melihat dampak bencana harus diterjemahkan menjadi analisis yang konstruktif dan solutif:
- Pencatatan Anomali: Mengobservasi dan mencatat secara sistematis setiap kegagalan atau hambatan (misalnya, kegagalan infrastruktur drainase, sistem EWS yang tidak berfungsi, atau prosedur evakuasi yang bottleneck).
- Identifikasi Faktor Pemburuk: Melakukan analisis kausalitas untuk mengidentifikasi faktor antropogenik dan alamiah yang paling signifikan memperburuk skala bencana.
- Perumusan Peluang Perbaikan: Mengubah temuan lapangan menjadi ide-ide konkret untuk peningkatan mitigasi dan kesiapsiagaan di level komunitas, kabupaten, atau provinsi.
- Pengusulan Kebijakan: Menyampaikan usulan berbasis data dan analisis kepada pimpinan fakultas, Satgas, atau otoritas lokal.
Kesadaran Kritis atas setiap peristiwa bencana adalah langkah awal yang esensial dalam mempromosikan budaya ketangguhan jangka panjang di masyarakat.
4.3. Agenda Besar Institusi: Memimpin Perubahan Kebijakan
Kampus tidak hanya harus merespon, tetapi harus menjadi laboratorium gagasan yang memandu agenda pembangunan regional:
- Pembangunan Selaras Alam (Nature-Based Solutions): Mendorong dan meriset solusi mitigasi yang mengedepankan pendekatan ekologis, seperti reforestasi DAS dan restorasi sempadan sungai, sebagai alternatif atau pelengkap solusi struktural (beton).
- Kebijakan Berbasis Risiko (Risk-Informed Policy): Melahirkan rekomendasi kebijakan publik yang mengintegrasikan analisis risiko bencana ke dalam setiap sektor pembangunan ekonomi dan sosial.
- Tata Ruang Adaptif Iklim: Mengembangkan model perencanaan tata ruang yang fleksibel dan mampu beradaptasi terhadap proyeksi perubahan iklim dan intensitas bencana hidrometeorologi di masa depan.
- Masyarakat Tangguh (Resilient Society): Menjadikan Disaster Risk Reduction sebagai inti dari kurikulum dan program pengabdian masyarakat, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang siap menghadapi ketidakpastian iklim global.
5. Penutup dan Kesimpulan
Tulisan ini telah membedah peristiwa hidrometeorologi di Sumatera pada November 2025, yang sekali lagi menegaskan bahwa bencana adalah titik pertemuan antara bahaya alamiah (natural hazard) dengan kerentanan sistemik (systemic vulnerability) yang diakibatkan oleh faktor antropogenik. Kita telah mengidentifikasi bahwa eskalasi dampak banjir dan longsor bukan hanya dipicu oleh curah hujan ekstrem (trigger), tetapi diperburuk secara signifikan oleh deforestasi, tata ruang yang abai risiko, dan lemahnya manajemen infrastruktur air (aggravation).
Manajemen Bencana (DM) modern menuntut pergeseran paradigma dari reaktif menjadi proaktif. Dengan menganalisis siklus DM sejak mulai dari Mitigasi dan Kesiapsiagaan pra-bencana, Respons saat kejadian, hingga Rekonstruksi pasca-bencana, kita menyadari bahwa upaya pengurangan risiko harus diarusutamakan dalam setiap aspek pembangunan.
Sebagai komunitas intelektual, peran Civitas Akademik menjadi sangat esensial. Keterlibatan aktif dalam Satuan Tugas Penanggulangan Bencana, yang meliputi pemetaan risiko hingga relawan lapangan, adalah praksis nyata. Lebih jauh, tanggung jawab utama kampus adalah melahirkan kesadaran kritis dan analisis berbasis data yang dapat menjadi fondasi bagi kebijakan publik.
Kegagalan mengantisipasi bencana adalah kegagalan kolektif. Bencana adalah kenyataan yang tak terhindarkan, mengingat dinamika alam dan perubahan iklim yang terjadi. Tetapi, keselamatan adalah pilihan yang harus kita ambil dan perjuangkan secara sadar dan terstruktur.
Pilihan itu dimulai dari kita—civitas akademik Universitas Almuslim.
Oleh: Rima Shah Putra, ST, M.Ling
Divisi Mitgasi dan Edukasi Kebencanaan




























