Banda Aceh — Gejolak harga LPG 3 kilogram yang merangkak naik dalam sepekan terakhir memicu keluhan di berbagai sudut kota. Di beberapa pangkalan, harga bahkan disebut tak lagi mengikuti harga eceran tertinggi (HET), sementara pasokan datang tersendat. Dalam situasi yang kian mengganggu denyut ekonomi rumah tangga itu, Kepala Perwakilan YARA Kota Banda Aceh, H. Yuni Eko Hariyatna atau Dato’ Embonk, muncul dengan desakan tegas.
“Pemerintah kota harus turun tangan. Ini kebutuhan dasar masyarakat. Tidak boleh ada pembiaran sampai harga gas naik sesuka hati,” ujar Embonk di Banda Aceh, Jumat sore.
Nada kritiknya tidak main-main. Ia menyebut kelangkaan dan permainan harga LPG telah menjadi pola berulang setiap kali terjadi gangguan distribusi atau tekanan pasokan, namun pemerintah kerap hanya merespons dengan langkah sementara seperti operasi pasar. “Operasi pasar itu ibarat menurunkan panas dengan kompres. Demamnya nanti naik lagi kalau sumber masalah tidak dibenahi,” katanya.
Warga Terjebak Harga yang Melampaui HET
Di beberapa gampong, warga mengaku harus membeli LPG 3 kilogram dengan harga jauh di atas ketentuan. Seorang ibu rumah tangga di kawasan Syiah Kuala, misalnya, mengaku membeli tabung seharga Rp28 ribu sampai Rp30 ribu. “Kalau tidak beli, tidak bisa masak. Mau bagaimana lagi?” ujarnya.
Pedagang kecil yang bergantung pada LPG untuk usaha kuliner pun terjepit. Kenaikan harga gas langsung menggerus margin keuntungan, sementara menaikkan harga jual bukan pilihan mudah dalam kondisi daya beli masyarakat yang menurun.
YARA: Pemerintah Kota Harus Awasi Distribusi sampai ke Pangkalan
Menurut Dato’ Embonk, persoalan paling krusial ada pada pengawasan distribusi dan kepatuhan pangkalan terhadap HET. Ia menilai pemerintah harus ikut mendisiplinkan jalur distribusi, memastikan tidak ada penimbunan, pengalihan tabung ke sektor nonsubsidi, ataupun penjualan berantai yang membuka ruang bagi spekulan.
“Kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan cuaca, logistik, atau pasokan pusat. Ada titik-titik distribusi di Banda Aceh yang tidak diawasi dengan konsisten,” ujarnya.
Ia juga meminta Wali Kota Banda Aceh memimpin langsung koordinasi dengan Pertamina, termasuk membuka data distribusi harian sehingga publik bisa memantau ketersediaan LPG secara transparan.
Operasi Pasar Belum Cukup
Upaya pemerintah kota bersama Pertamina dengan menggelar operasi pasar memang membantu menahan situasi dalam jangka pendek. Tabung dijual sesuai HET di beberapa titik seperti Pasar Tani dan area padat penduduk lainnya. Namun pola operasi pasar dianggap tidak mampu mengatasi akar masalah.
“Begitu operasi berhenti, harga kembali naik. Kita butuh model penanganan yang permanen, bukan respons seremonial tiap kali harga naik,” kata Embonk.
Pemulihan Distribusi Bukan Alasan untuk Lengah
Sejak beberapa hari terakhir, distribusi LPG ke Banda Aceh memang mulai stabil. Namun, menurut YARA, membaiknya pasokan tidak otomatis menurunkan harga jika rantai distribusi di tingkat lokal masih dibiarkan longgar.
“Jika wali kota ingin memastikan kota ini tertib, stabil, dan ramah bagi warganya, maka stabilisasi harga LPG harus menjadi prioritas. Ini bukan soal gas saja, tetapi soal hidup sehari-hari masyarakat,” tegasnya.
Tuntutan YARA kepada Wali Kota Banda Aceh
YARA merinci tiga langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah kota:
1.Stabilisasi harga secara terukur dengan memastikan HET dipatuhi seluruh pangkalan.
2.Membentuk tim pengawasan terpadu yang melakukan inspeksi rutin hingga tingkat gampong.
3.Transparansi data distribusi bekerja sama dengan Pertamina dan agen penyalur utama.
“Kalau pemerintah kota bergerak cepat, harga bisa dikendalikan. Jika dibiarkan, beban sosial ekonomi akan merambat ke mana-mana,” tutup Embonk.