Fenomena cuaca ekstrem semakin sering terjadi di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh. Hujan lebat yang turun tak menentu, kekeringan yang lebih panjang dari biasanya, dan banjir bandang yang melanda daerah-daerah padat penduduk menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi krisis iklim.
Perubahan iklim tidak lagi menjadi isu global yang jauh, tapi nyata kita rasakan di tingkat lokal. Dan salah satu sektor paling terdampak adalah sumber daya air.
Krisis Air di Tengah Limpahan Sumber Daya
Aceh memiliki sumber daya air yang melimpah. Sungai-sungai besar seperti Krueng Aceh menyimpan potensi sebagai penyedia air bersih, irigasi pertanian, dan pengendali banjir. Namun, ironisnya, di tengah potensi itu, masyarakat masih mengalami banjir, kekeringan lokal, hingga pencemaran sungai. Masalahnya bukan pada ketersediaan air, tetapi pada buruknya tata kelola. Di tengah ancaman krisis iklim, kelemahan dalam pengelolaan air akan memperbesar dampak sosial dan ekonomi yang kita alami.
Perlu Sinergi: Pemerintah, Masyarakat, dan Akademisi
Pengelolaan air yang resilien terhadap perubahan iklim hanya mungkin terwujud jika ada sinergi lintas aktor.
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus memperkuat integrasi lintas sektor pertanian, kehutanan, dan tata ruang—serta menjadikan pengelolaan air sebagai prioritas jangka panjang, bukan sekadar proyek tahunan.
Masyarakat lokal harus diberdayakan sebagai penjaga sumber daya, bukan hanya sebagai korban atau penerima bantuan. Kearifan lokal seperti adat mukim dan tradisi kenduri blang bisa menjadi model pengelolaan komunitas yang berkelanjutan.
Akademisi, terutama dari bidang teknik dan lingkungan, harus lebih aktif terlibat dalam merancang solusi adaptif—mulai dari konservasi DAS, sistem drainase berkelanjutan, hingga pemanenan air hujan di kawasan rentan.
Tata Kelola Air: Harus Adil dan Berkelanjutan
Dalam konteks perubahan iklim, keadilan dalam tata kelola air berarti memastikan bahwa kelompok rentan—petani kecil, warga miskin kota, dan daerah terpencil—tidak dikesampingkan dari akses air bersih. Sementara keberlanjutan berarti memperkuat kapasitas alam dan sosial untuk bertahan dan pulih. Pengelolaan air harus berbasis ekosistem, tidak merusak kawasan hulu, dan mengedepankan teknologi ramah lingkungan.
Beberapa prinsip mendasar:
Perencanaan berbasis risiko iklim
Partisipasi publik dalam kebijakan air
Pengawasan terhadap pencemaran dan alih fungsi lahan
Sinergi antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal
Islam dan Tanggung Jawab Kolektif atas Air
Dalam Islam, air adalah milik umum (milkiyah ‘ammah) yang tidak boleh dikomersialkan secara zalim. Rasulullah ﷺ bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).
Pengelolaan air dalam sistem Islam dilandaskan pada prinsip tanggung jawab kolektif, keseimbangan (mīzān), dan keadilan.
Konsep khilafah fil-ardh menegaskan bahwa manusia bertugas merawat bumi, bukan mengeksploitasinya. Maka, tata kelola air harus mengedepankan nilai keberlanjutan antar generasi, bukan hanya kepentingan sesaat.
Penutup: Momentum untuk Berubah Perubahan iklim adalah peringatan keras bagi kita untuk meninjau ulang tata kelola air. Ini bukan lagi soal teknis semata, melainkan soal keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan hidup bersama. Jika pemerintah sebagai pengatur, masyarakat sebagai penjaga, dan akademisi sebagai pengarah bergerak bersama, maka krisis air bukan hanya bisa diatasi, tapi bisa diubah menjadi kekuatan pembangunan yang memberdayakan.
Oleh Eva Herlina, ST, MT
Dosen Teknik Sipil DPK Universitas Abulyatama, Pemerhati Lingkungan dan Sosial