berangBANDA ACEH — Banjir besar yang melanda Aceh beberapa hari terakhir menjadi ujian nyata bagi ketahanan publik dan efektivitas pelayanan energi nasional. Ribuan rumah terendam, jalan raya berubah menjadi sungai sementara listrik dan jaringan komunikasi putus, membuat mobilitas warga, dapur umum, dan evakuasi terhambat.
Di tengah kondisi darurat ini, distribusi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) menjadi nadi yang menentukan kecepatan dan efektivitas tanggap bencana. Namun, antrean panjang di SPBU di Banda Aceh dan sekitarnya mengular seperti ular, menunjukkan ketidaksiapan sistem distribusi di masa krisis.
Kemarahan publik dan pejabat daerah kini berpadu. Salah satu suara paling keras datang dari H. Yuni Eko Hariyatna, Kepala Perwakilan YARA Kota Banda Aceh, yang akrab disapa Dato’ Embonk.
“Ini bukan soal BBM semata. Ini soal darurat kemanusiaan. Pertamina acuh tak acuh. Mereka lebih sibuk mempertahankan prosedur daripada memastikan energi sampai ke warga,” tegas Dato’ Embonk.
Ia menambahkan, antrean panjang, keterlambatan suplai, dan kelangkaan BBM di beberapa titik membuat proses evakuasi dan layanan masyarakat terhambat.
“Jika regulator sudah melonggarkan aturan barcode, tidak ada alasan bagi Pertamina untuk berjalan lambat. Saat bencana, layanan publik tidak bisa ditawar,” tambahnya.
⸻
Krisis Administratif dan Desakan Pemangku Kebijakan
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, telah mengirim Surat No. 500.10/18536, meminta keringanan pengisian BBM bersubsidi dan pembebasan barcode agar distribusi lebih cepat dan fleksibel. Surat ini menekankan bahwa keterlambatan BBM di masa bencana dapat menimbulkan risiko keselamatan warga.
Seruan serupa datang dari legislatif dan eksekutif lokal:
• Ketua DPRK Banda Aceh, Irwansyah ST, menuntut SPBU beroperasi 24 jam, agar warga bisa memperoleh BBM kapan pun dibutuhkan.
• Wali Kota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal, mendesak penambahan pasokan BBM agar denyut energi tetap terjaga.
• Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menegaskan pencabutan barcode untuk mempercepat distribusi di wilayah terdampak banjir.
Meski kebijakan ini sudah dikeluarkan, kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Antrean panjang di SPBU tetap terjadi, sementara sebagian warga masih kesulitan memperoleh BBM subsidi.
Seorang warga di Kecamatan Kuta Alam, yang enggan disebutkan namanya, menuturkan:
“Kami harus menunggu lebih dari dua jam di SPBU. Banyak yang akhirnya pulang tanpa BBM. Ini bukan antrean biasa, ini seperti ujian kesabaran.”
Kondisi ini menegaskan kesenjangan antara kebijakan formal dan implementasi di lapangan.
⸻
Kritik Pedas kepada BPMA Aceh
Tidak hanya Pertamina yang menjadi sorotan. Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), yang seharusnya bertindak sebagai pengawas dan pengawal distribusi energi, dianggap tidak hadir di tengah bencana.
Dato’ Embonk menilai BPMA lebih banyak menunggu laporan administrasi ketimbang turun langsung memastikan BBM tersedia dan didistribusikan merata.
“BPMA tampak hanya menunggu surat masuk. Mereka tidak turun lapangan, tidak memaksa Pertamina bertindak cepat. Saat warga Aceh terjebak banjir, regulator seharusnya hadir sebagai pengawal hak publik, bukan sekadar penonton,” ujarnya.
Kritik ini menyorot satu ironi besar: kepatuhan administratif diprioritaskan di atas keselamatan publik. Dalam situasi darurat, kata Dato’ Embonk, regulator seharusnya menjadi garda terdepan, memastikan energi sampai ke tangan warga tanpa hambatan.
⸻
Antrean Ular di SPBU dan Solusi Pertamini
Salah satu masalah nyata yang diperhatikan masyarakat adalah antrean panjang di SPBU, yang membentuk garis seperti ular dan sering kali mencapai ratusan meter. Fenomena ini tidak hanya menghambat warga, tetapi juga memperlambat mobilisasi bantuan dan evakuasi.
Untuk mengatasi masalah ini, Dato’ Embonk dan sejumlah tokoh masyarakat mendorong optimalisasi Pertamini, outlet BBM skala kecil yang dikelola Pertamina.
“Pertamini bisa menjadi solusi cepat untuk memangkas antrean panjang. Dengan menempatkan Pertamini di lokasi strategis, warga tidak harus mengular berjam-jam di SPBU. Ini saatnya Pertamina berpikir kreatif dan proaktif,” tegas Dato’ Embonk.
Beberapa warga mendukung gagasan ini. Seorang pengendara ojek online di Banda Aceh mengungkapkan:
“Kalau Pertamini difungsikan maksimal, kami bisa mengisi BBM lebih cepat dan bisa tetap beroperasi membantu masyarakat di daerah terdampak banjir.”
Optimalisasi Pertamini di tengah bencana bukan sekadar solusi logistik, tetapi juga langkah nyata untuk menegaskan komitmen pelayanan publik Pertamina.
⸻
Kesenjangan Implementasi: Regulasi vs Realitas
BPH Migas telah memberikan kelonggaran pengisian BBM subsidi secara manual, membebaskan masyarakat dari kewajiban barcode. Secara regulasi, hambatan administratif sudah dicabut. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari memadai:
• Beberapa SPBU masih menerapkan sistem lama karena kekurangan personel atau keterbatasan infrastruktur.
• Distribusi BBM ke daerah terdampak tidak merata, sehingga warga di lokasi terpencil tetap kesulitan memperoleh energi.
• Antrean panjang tetap mengular, bahkan di titik-titik yang relatif mudah dijangkau.
Situasi ini menunjukkan bahwa pelonggaran regulasi tidak serta-merta berarti layanan cepat. Peran proaktif Pertamina dan pengawasan aktif BPMA menjadi kunci agar kebijakan benar-benar berdampak di lapangan.
⸻
Suara Masyarakat dan Dampak Kemanusiaan
Selain antrean panjang, kelangkaan BBM juga berdampak pada kegiatan dapur umum, ambulans, perahu penyelamat, dan mobilisasi bantuan logistik. Warga di Kecamatan Lueng Bata, misalnya, melaporkan bahwa dapur umum berhenti beroperasi beberapa jam karena stok BBM habis.
Seorang ibu yang sedang mengungsi di posko sementara mengatakan:
“Kami membutuhkan BBM untuk memasak dan untuk generator listrik. Setiap jam yang hilang berarti penderitaan bertambah. Pemerintah dan Pertamina harus bergerak lebih cepat.”
Kondisi ini menegaskan bahwa masalah distribusi BBM bukan sekadar persoalan logistik, melainkan isu kemanusiaan yang harus ditangani dengan kecepatan dan empati.
⸻
Tuntutan Publik: Transparansi, Proaktif, dan Kreativitas
Berbagai kritik yang datang dari Gubernur, Wali Kota, DPRK Banda Aceh, Menteri ESDM, hingga Dato’ Embonk menekankan tiga hal penting:
1. Transparansi distribusi: Publik harus mengetahui kuota, lokasi distribusi, dan jadwal pengiriman BBM.
2. Proaktif dan gesit: Pertamina tidak boleh menunggu instruksi, tetapi harus mengambil langkah cepat untuk memastikan BBM sampai ke tangan warga.
3. Kreativitas dalam distribusi: Pengoptimalan Pertamini, layanan mobile BBM, dan pengaturan antrean yang efisien harus diterapkan agar masyarakat tidak dirugikan.
Jika tiga hal ini diimplementasikan, antrean panjang di SPBU bisa ditekan, mobilitas masyarakat meningkat, dan bantuan kemanusiaan berjalan lebih lancar.
⸻
Kesimpulan: Bencana Aceh sebagai Ujian Pelayanan Publik
Banjir Aceh menjadi ujian nyata bagi Pertamina dan BPMA Aceh. Respons lamban Pertamina dan sikap pasif BPMA memperlihatkan kesenjangan antara regulasi dan kebutuhan nyata masyarakat.
Desakan publik kini jelas: Pertamina harus lebih gesit, lebih kreatif, dan lebih proaktif. Pengoptimalan Pertamini menjadi langkah konkret untuk memangkas antrean panjang dan memastikan energi sampai ke tangan warga.
Dato’ Embonk menegaskan:
“Jika pemerintah dan regulator sudah mengambil langkah, tidak ada alasan bagi Pertamina untuk berjalan paling lambat. Keselamatan warga Aceh tidak bisa menunggu birokrasi.”
Banjir bukan hanya ujian alam, tetapi juga ujian moral dan profesionalisme institusi negara. Bagaimana Pertamina dan BPMA menanggapinya akan menjadi cermin komitmen mereka terhadap publik, terutama di saat warga paling membutuhkan energi dan bantuan.




























