Air adalah kebutuhan dasar yang menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat: dari dapur rumah tangga, sawah-sawah petani, industri kecil, hingga masjid dan sekolah. Di Aceh, limpahan air tampak seperti berkah yang tak habis-habis. Namun, ancaman terhadap kualitas dan kuantitas sumber daya air kini semakin nyata—dan mengganggu sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Ketika Air Tak Lagi Terjamin
Secara kuantitas, Aceh memiliki ratusan sungai, termasuk Krueng Aceh, Peusangan, dan Meureubo, serta potensi air tanah yang luas. Tapi dalam praktiknya, distribusi air tidak merata. Di satu wilayah banjir, di wilayah lain justru kekeringan. Warga di perbukitan dan kawasan pedalaman masih kesulitan mendapatkan air bersih saat musim kemarau.
Lebih ironis lagi, saat musim hujan sekalipun, banyak masyarakat di kawasan padat penduduk mengeluhkan air bersih PDAM yang keruh, bahkan terhenti total. Air yang mestinya melimpah justru tidak bisa dikonsumsi. Beberapa warga harus membeli air galon setiap hari atau menimba dari sumur tua yang tidak terjamin kebersihannya.
Kondisi ini dirasakan terutama oleh keluarga berpenghasilan rendah, yang tidak memiliki alternatif akses air selain PDAM. Bagi mereka, persoalan air bukan hanya ketidaknyamanan, tapi masalah keuangan, kesehatan, dan martabat.
Di sisi lain, kualitas air sungai dan air tanah terus menurun akibat pencemaran limbah, sedimentasi, dan buruknya sanitasi. Sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini dijauhi karena berbau, keruh, atau bahkan penuh sampah.
Bagi petani, kualitas air irigasi sangat menentukan hasil panen. Air yang tercemar dapat merusak tanaman dan produktivitas. Bagi warga kota, air rumah tangga yang tidak layak konsumsi berdampak langsung pada kesehatan—diare, infeksi kulit, bahkan stunting.
Kenapa Kuantitas dan Kualitas Air Merosot?
Ada beberapa faktor yang memperburuk situasi:
- Penggundulan hutan di daerah hulu menyebabkan volume air menjadi tidak stabil: banjir saat hujan, kering saat kemarau.
- Alih fungsi lahan dan pembangunan tanpa konservasi mengurangi daerah resapan air.
- Kurangnya pengelolaan limbah rumah tangga dan industri, menyebabkan pencemaran air sungai dan air tanah.
- Infrastruktur distribusi air yang belum merata, terutama di kawasan pelosok dan dataran tinggi.
- Minimnya edukasi masyarakat tentang menjaga sumber air.
Kuantitas dan kualitas air bukan hanya isu teknis, tetapi menyangkut keadilan sosial dan ketahanan masyarakat. Yang paling terdampak adalah masyarakat kecil—petani, warga pinggiran kota, dan komunitas adat yang menggantungkan hidupnya dari alam.
Solusi Kolektif: Peran Pemerintah dan Masyarakat
Masalah air bersih bukan hanya soal pasokan, tetapi menyangkut tata kelola, ketepatan perencanaan, dan kepedulian sosial. Karena itu, diperlukan langkah nyata dari semua pihak, dengan peran yang saling menguatkan.
🔷 Pemerintah Daerah dan PDAM:
- Melakukan modernisasi sistem distribusi air, termasuk peningkatan kualitas instalasi pengolahan agar tetap optimal meski saat musim hujan.
- Menyediakan cadangan air bersih dan sumur bor strategis di titik rawan kekeringan atau gangguan distribusi.
- Melakukan perawatan dan pengawasan rutin terhadap kualitas air—bukan hanya memenuhi kuota distribusi, tapi memastikan air benar-benar layak konsumsi.
- Meningkatkan transparansi dan pelibatan warga dalam pemantauan layanan air, misalnya melalui pelaporan berbasis aplikasi.
- Mendorong konvergensi kebijakan antara sektor air minum, lingkungan, dan kesehatan masyarakat.
🔷 Masyarakat:
- Aktif menjaga sumber air lokal, tidak membuang limbah ke sungai, dan berpartisipasi dalam kegiatan bersih sungai atau konservasi air.
- Membentuk kelompok swadaya air di tingkat desa atau mukim, untuk mengelola cadangan air lokal seperti sumur atau tandon kolektif.
- Menerapkan pola konsumsi air yang hemat, bijak, dan higienis—termasuk menyaring air hujan sebagai alternatif saat air PDAM terganggu.
- Menjadi bagian dari solusi: mengedukasi sesama warga, mendukung kebijakan berbasis lingkungan, dan mengawal akuntabilitas pelayanan publik.
- Sinergi inilah yang dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem pelayanan air bersih dan memastikan hak atas air tidak hanya berlaku bagi warga kota besar, tetapi juga masyarakat pelosok.
Perspektif Islam: Air adalah Hak Bersama
Islam mengajarkan bahwa air adalah milik umum dan amanah yang harus dijaga. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). Mengelola air dengan adil berarti tidak boleh ada warga yang kekurangan air karena kelalaian atau keserakahan pihak lain.
Dalam konteks Aceh, nilai-nilai Islam dan kearifan adat seperti lembaga mukim dapat menjadi basis sosial dalam menjaga sumber air, mencegah pencemaran, dan memastikan distribusi yang merata.
Penutup: Menjaga Air, Menjaga Kehidupan
Kualitas dan kuantitas air menentukan kualitas hidup masyarakat. Jika air kita tercemar atau tak tersedia, maka kehidupan ekonomi, sosial, dan spiritual pun terganggu. Karena itu, menjaga air bukan hanya tugas teknokrat, tetapi kewajiban bersama yang menyangkut masa depan kita semua.
Sudah saatnya kita bertindak sebelum krisis air menjadi bencana sosial. Air adalah kehidupan—dan kehidupan harus kita jaga bersama, dari hulu ke hilir.
Oleh Eva Herlina, ST, MT
Dosen Teknik Sipil DPK Universitas Abulyatama, Pemerhati Lingkungan dan Sosial