(JAKARTA – Kutarajapost). Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan BNPB membahas isu kebencanaan ditngkat daerah bertemoat di di kantor Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Jakarta Selatan. Diskusi ini bertujuan untuk membahas beberapa isu implementasi standar pelayanan minimum (SPM) di bidang penanggulangan bencana, khususnya terkait perencanaan, kajian risiko bencana dan evaluasi sistem penyelenggaraannya di daerah.
Pada kesempatan itu, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Dr. Raditya Jati, S.Si, M.Si. menyampaikan beberapa isu strategis, seperti program penanggulangan bencana (PB) belum menjadi prioritas di daerah, perlunya integrasi sistem evaluasi penyelenggaraan PB, dan berbagai permasalahan kelembagaan PB di daerah.
“Semangat resiliensi berkelanjutan dari komitmen global harus dapat diimplementasikan sampai tingkat lokal sesuai arahan Presiden RI saat penyelenggaraan GPDRR 2022”, ujar Raditya.
Raditya menambahkan bahwa local wisdom dalam pengelolaan risiko bencana yang ada di setiap daerah menjadi aset penting untuk membangun kapasitas PB di daerah serta mendorong penganggaran untuk upaya pada fase prabencana, bukan hanya pada tanggap darurat bencana.
Sementara itu, Dr. Ir. Agus Wibowo, M.Sc., Direktur Pengembangan Strategi BNPB dalam kesempatan audiensi menyampaikan harapannya agar Dokumen Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) yang telah ditetapkan menjadi Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 dapat dimuat dalam dokumen perencanaan pembangunan tingkat pusat dan perencanaan daerah RPJPD dan RPJMD. Hal tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah mendapatkan alokasi anggaran untuk implementasinya.
“Kita sudah memiliki pedoman untuk integrasinya. Pedoman ini akan kita sosialisasikan kepada 34 provinsi. Kami berharap nanti dari Kemendagri juga dapat mendukung,” ujar Agus.
Sementara itu, Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB, Dr. Ir. Udrekh, SE, M.Sc. menyampaikan tantangan yang dihadapi sampai saat ini yaitu masih ada 100 lebih daerah yang belum memiliki peta kawasan rawan bencana (KRB) akibat tidak adanya anggaran.
“Saat ini kita juga berupaya untuk mengeluarkan IRBI yang biasa dikeluarkan di awal tahun rencana akan dikeluarkan diakhir tahun agar dapat dimanfaatkan untuk mendukung kinerja pemerintah daerah, ” imbuh Udrekh.
Sekretaris Ditjen Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sri Purwaningsih, SH., MAP dalam tanggapannya menyampaikan urusan kebencanaan di daerah masih sering ditemui, seperti pemahaman substansi PB yang masih kurang, ketidakpahaman terkait kewenangan urusan pemerintahan daerah, dan banyak BPBD yang masih sekedar menjalankan tugas business as usual.
“Perlu ada penguatan untuk pemerintah daerah, khususnya untuk BPBD dalam implementasi tugas dalam langkah yang nyata,” ungkap Purwaningsih.
Pada akhir kegiatan, BNPB dan Kemendagri sepakat untuk saling berkolaborasi dalam penguatan implementasi SPM, integrasi sistem evaluasi untuk penyelenggaraan PB di daerah, dan penguatan tata kelola dan substansi kebencanaan untuk pemerintah daerah.
“Sesuai UU 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, untuk menyadarkan dan menguatkan kebencanaan pemerintah daerah, BNPB tidak bisa sendirian, perlu bantuan Kemendagri untuk aspek pemerintahan yang dilengkapi oleh BNPB aspek teknisnya,” tambahnya.
Dari hasil pertemuan itu, kedua belah pihak menyetujui tindak lanjut pertemuan dengan penyelenggaraan diskusi-diskusi teknis untuk koordinasi lanjutan untuk memantapkan kolaborasi yang diusulkan.